Lembaran Kisah Kelas

Pertemuan Dan Kenangan

27 November 1997

Di dalam ruangan sepi yang penuh akan kegentingan. Aku sedang dipertemukan kepada seorang perempuan idealis nan kenes yang ditugaskan menjadi narasumber dari jalan jurnalistikku yang dipantau ketat oleh antek-antek Orde Baru. Sebuah jalan penuh duri yang banyak membuat banyak tokoh dan pejuang reformasi menghilang tanpa jejak. Namun, itu hanyalah secuil risiko dari sebuah kebebasan di masa depan negeri ini.

Aku mengulurkan tangan sebagai senjata pertamaku. “Salam kenal, nama saya Bumi Dirgantara, saya biasa disapa sebagai Bumi oleh para kawan saya,” kataku selembut mungkin.

Pupil coklat yang menyorot tajam telapak tanganku itu membuatku merinding. “Andini Surti, mahasiswa Trisakti semester empat,” kelam matanya dibarengi suara tidak bersahabatnya sudah cukup buatku untuk merasakan berat hidupnya. Banyaknya isu tentang demonstrasi dari mahasiswa Trisakti sudah membuat banyak aparat negara menggigit kuku dan jari mereka sendiri.

Aku membuka ransel kosongku yang hanya berisikan beberapa lembar kertas kecil untuk wawancara. “Tujuan saya bertemu dengan mbak Surti tak lain adalah untuk membahas tentang beberapa isu yang beredar di masyarakat belakangan ini. Kalau ada pertanyaan saya yang terlalu pribadi atau keluar dari konteks wawancara, mbak boleh tidak menjawab,” jelasku selagi merapikan beberapa lembar kertas dan mengeluarkan buku saku.

Sorot matanya menusuk dadaku. “Saya mohon wawancara ini dipercepat, saya memiliki beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, saya mohon maaf. Saya hanya bisa menjawab kurang lebih dua pertanyaan,” dia menyilangkan tangannya.

Keringatku mulai mengucur dari akar rambutku menuju jidat, aku terlahap oleh desakannya. “Oke mbak, perkara yang pertama, apakah Trisakti akan membuat kerusuhan dikala medan demonstrasi memanas?” Aku memasang isyarat siap untuk mendengarkan dan menulis dengan mendekatkan ujung pulpenku pada kertas. Tanpa sadar, aku sudah membungkuk dan hanya fokus kepada tulisan dan pendengaran.

Dia berpikir sejenak, celingak-celinguk menatap pojok langit-langit yang dipenuhi jaring laba-laba. Setelah beberapa saat, dia menatap jauh ke dalam mataku. “Kami mahasiswa, Mas. Bukan sekelompok jalang. Kami berdemo untuk kebebasan negara dan menguak hilangnya jiwa-jiwa yang mulai memprotes masa ini,” ia mencipratkan kemarahan yang sudah tertahan itu ke arah relungku.

Kata-katanya itu berhasil kutulis dengan sempurna, tanpa ada satu kata yang terlewati. Lalu, aku kembali melirik kepada lembaran kecil pertanyaan. “Perkara kedua, metode apa yang akan mbak lakukan ketika berdemonstrasi? Apakah akan ada perjanjian berdemo secara damai dengan pihak pemerintah? Dan sekiranya kapan demo itu akan dilaksanakan, mbak?” Aku melirik penuh awas kepadanya. Berharap bahwa jawaban yang dia berikan tidak akan menimbulkan konflik.

Dia menghela napas dan kembali melihat sekeliling ruangan. Kali ini dengan terburu-buru. “Para mahasiswa Trisakti maunya juga seperti itu mas, cumannya ada beberapa oknum yang biasanya membuat panas di tempat. Tidak tahu apakah mereka itu utusan pemerintah atau memang orang yang dungu saja. Tapi yang bisa kami pastikan adalah kami akan menggunakan cara yang damai dan tertib terlebih dahulu, mas. Untuk waktunya saya tidak bisa menjawabnya,” nada suaranya menjadi lebih tinggi dan membentak lalu menjadi lembut lagi. Dia membawa beban pada ucapannya.

Satu hal yang dapat aku mengerti dari Andini Surti adalah perempuan yang dibutuhkan demi reformasi. Jiwanya bersih dan murni, raganya terbakar pada tungku amanah dan tenggelam dalam hasrat independensi.

“Terima kasih waktunya ya, mbak. Saya mohon maaf karena mengambil waktu mbak di situasi genting begini,” aku menunduk sebagai rasa hormatku serta kagumku kepadanya.

Ia beranjak dari kursinya, mengangkat ranselnya dan menungguku. “Mas Bumi, saya sarankan jangan asal menunduk begitu. Nanti mas akan diremehkan, lho. Jadi, saya ingin mas untuk melihat saya dengan sungguh-sungguh,” aku bisa merasakan getaran dan debaran hatiku yang mulai tidak karuan ketika mendengar suaranya yang tidak lagi tegas. Namun suara lemah lembut seperti bicara seorang ibu kepada anaknya yang nakal.

Sesuai perintahnya, aku menengadah kepadanya. Sekali lagi kulihat dia, dimulai dari pupil matanya yang coklat berbinar dibarengi lentik bulu matanya. Kulitnya putih bersih dengan sedikit bulu halus di tangannya. Dan kalau boleh jujur, aku ingin mengusap rambut panjangnya yang terlihat lembut itu. Sialan, hatiku jatuh kepada dia.

Aku tersenyum padanya sembari menutupi kegelisahan sanubariku. “Semoga kebebasan menghampiri dan menetap bersama kita ya mbak,” aku terkekeh-kekeh untuk menambah suasana. Dia hanya tersenyum lalu pergi membelakangiku.


***
10 Mei 1998

Semenjak wawancara itu, mbak Surti dan aku lumayan sering bertemu di luar kesibukan masing-masing. Kami menjadi dekat seperti sepasang simpanse yang memasuki musim kawin. Surti memang seperti dua orang yang berbeda ketika senggang dan saat kalut akan tugas kuliahnya juga karier demonstrasinya. Dia akan menjadi malaikat kenes yang diimpikan semua laki-laki ketika lengang, dan ketika repot, dia akan menjelma sebagai iblis. Saat ini, kami berjanji untuk bertemu di ‘Roti Bakar Eddy’ yang berlokasi di Kebayoran Baru. Entah aku akan bertemu malaikat atau iblis.

Tepat pada pukul tujuh malam, mbak Surti tiba dan langsung menuju ke tempatku berada. Dia datang memakai kemeja putih lengan panjang yang dibarengi bersama celana Jeans. Rambutnya dia biarkan berayun-ayun di bahunya. Mungkin untuk menemani shoulder bag yang dibawanya

“Mas sudah menunggu lama ya? Maafin saya ya mas, tadi gak dapet ojek,” dia menyapaku dan segera duduk. Kali ini malaikat.

Aku menyerahkan menunya kepada Surti. “Saya tidak menunggu lama kok, harusnya yang minta maaf itu saya karena sudah mengganggu waktu sibukmu. Kita membahasnya nanti saja. Ayo makan saja dulu, mbak,” aku menjelaskan dengan nada tegas namun lembut.

Mbak Surti memesan satu roti bakar isi selai stroberi dengan taburan keju di atasnya dan segelas hangat susu coklat. Sedangkan aku, memesan roti bakar isi coklat, dan segelas stmj. Kami berbincang kecil sekadar menanyakan kabar dan situasi kuliah serta situasi kerjaku. Tak terasa hingga bau harum itu semakin mendekati kami.

Kami segera mengisi perut tanpa obrolan sepatah kata pun dan hanya menikmati rasa dari roti bakar yang populer di Jakarta itu. Coklat mereka tidak main-main, rasanya sedikit pahit tercampur gurih margarin dibarengi renyah dari roti yang terbakar sempurna itu. Ditambah stmj yang pedas jahenya terasa, mereka mengalahkan angin musim hujan Jakarta.

“Jadi, mas Bumi mau bahas apa?” Mbak Surti bertanya dengan bibirnya yang semerah selai stroberi yang habis dimakannya.

Aku menaruh daguku pada punggung tangan. “Saya ingin membahas perihal demonstrasi, saya rasa ini saat yang tepat untuk memprotes karena kebijakan empat Mei kemarin, Mbak,” aku menyorotinya.

Dia kembali melakukan kebiasaannya, memutar-mutar kepalanya sembari berpikir sejenak. “Iya, mas. Kami berencana melakukan demonstrasi itu sekitar lusa. Persiapan sudah selesai, tinggal eksekusi, mas,” dia berbisik, langkah waspada terhadap sekitarnya.

“Lho, kalau begitu memangnya tidak apa-apa mbak Surti bersantai bersama saya?” Tanyaku memastikan posisinya.

Mbak Surti merengut, alisnya hampir menyatu. “Saya itu manusia, mas. Hanya manusia yang menuntut kebebasan serta haknya kepada negara! Selain berani, saya tidak punya apa pun lagi,” dia menjelaskan posisinya.

Ia meneruskan ucapannya usai mengambil napas. “Saya juga butuh waktu istirahat, mas. Dan mas adalah satu-satunya yang saya ingin untuk menemani saya di kala senggang begini,” wajah putihnya memerah seakan terkontaminasi stroberi. Bahkan telinganya memerah seperti tomat segar di kebun. Aku hanya dapat terdiam, tak dapat menjawab apa pun.

Dia berdiri, “Mas, saya pamit pulang, ya. Ada tugas kuliah,” dia meninggalkanku sendiri dengan keraguan dan kecanggungan.


***
12 Mei 1998

Aku kembali diberi tugas yang cukup gila. Setelah mendengar isu mengenai ribuan mahasiswa Trisakti berkumpul pada pelataran parkir. Aku diminta untuk meliput kondisi dari demonstrasi ini.

Sekitar jam sebelas pagi, aku tiba pada tempat aman untuk meliput dari kejauhan, di sana terdapat aksi orasi yang dilakukan setelah penurunan bendera. Banyak yang menyebutkan kalau aksi itu dinamakan aksi mimbar bebas. Dari kejauhan, aku melihat dari zoom kameraku bahwa yang sedang melakukan orasi tak lain adalah mbak Surti. Dia seperti cahaya yang menyemangati manusia di tengah kegelapan.

Hal yang sudah diduga mulai terjadi, sekitar satu jam sejak orasi dimulai. Massa mulai memanas dengan datangnya para anggota aparat keamanan tepat di atas mimbar bebas. Mereka menjadi riuh seakan meminta para aparat untuk turun ke jalan dan menuntut untuk memberikan suara mereka kepada anggota DPR. Para satuan tugas mulai bersiaga secara penuh dan mulai menertibkan massa secara teratur di depan pintu gerbang jalan Jend. S. Parman.

Gerbang dibuka dan ribuan mahasiswa secara perlahan berjalan melangkah menuju kantor walikota Jakarta Barat. Mereka melewati kampus Untar. Aku berganti tempat sembari menjepret banyak hal di tengah keramaian itu. Dan kini aku berada pada suatu gedung tua yang terbengkalai karena krisis ekonomi yang mulai melanda tempo hari. Dari atas sini, aku dapat melihat ribuan mahasiswa yang dihadang oleh dua lapisan barikade polisi bertameng dan baton.

Aku melihat beberapa mahasiswa maju ke depan polisi, kurasa ada dua laki-laki dan satu perempuan. Aku menyipitkan mataku, dan benar saja. Satu perempuan yang maju itu adalah mbak Surti. Dari atas sini wajahnya hanya terlihat kabur oleh mataku. Di lain sisi, terdapat banyak massa yang terus mendobrak barisan satuan tugas kepolisian pada jalur sebelah kanan dan ada beberapa masyarakat yang bergabung di samping barisan long march.

Setelah kira-kira sepuluh menit, mbak Surti dan mahasiswa yang berunding dengan pimpinan komando itu pun kembali. Aku melihatnya dari dalam kamera, wajah mereka terlihat muram, dan menahan kekecewaan. Walaupun begitu, massa tetap mendesak maju lapisan satgas itu sampai empat truk yang berisi tambahan aparat Pengendalian Massa datang ke medan demonstrasi.

Seakan merespons kedatangan empat truk tadi, langit bergemuruh dan tetesan hujan jatuh mengguyur debu-debu yang terbang bersama pawana dan meredakan panas dari beton pada situasi di bawah sana. Menjawab langit, ribuan mahasiswa duduk bersila. Diam, dan berhenti mendobrak. Selama 30 menit, ketenangan muncul di antara satgas dan mahasiswa. Gebrakan kasar tadi diganti dengan seruan yel-yel dan nyanyian-nyanyian, para mahasiswi memberikan segelintir aparat dengan mawar merah. Bantuan tambahan dari kepolisian berdatangan selepas satgas mulai memasang garis polisi untuk mencegah kemungkinan akan adanya kerusuhan.

Keheningan dan saling tunggu memenuhi medan demonstrasi sekitar dua jam lebih. Jarum jam menunjuk pukul empat menjelang lima sore. Para mahasiswa dan aparat sepakat untuk mundur secara berkala. Para satuan kepolisian mengambil langkah awal. Ketika aku bersiap memotret, ada satu momen langka. Dalam layar kameraku, pimpinan komando menunduk pada mbak Surti. Entah apa maksudnya itu, apakah ini akhir dari rencana panjangnya mbak Surti?

Mahasiswa Trisakti mulai berangsur-angsur berjalan kembali secara perlahan. Mereka mulai membubarkan diri dengan tenang dan kembali menuju kampus. Aku penasaran kali ini mbak Surti ada di mana, bagaimana caranya agar aku dapat menemukannya di antara ribuan orang ini, ya?

“Trisakti anjing! mati saja!” Aku terperanjat mendengar seseorang kembali menyulut api di tengah hujan deras ini. Segera aku kembali melihat ke bawah dan menyaksikan satu orang yang dikejar ratusan orang ke arah aparat yang sedang mundur. Dengan sigap, aparat dapat menahan dan membuat massa mundur kembali.

Hal bodoh selalu terjadi dimana-mana, dan aku sendiri yang menyaksikan hal tersebut. Tiga mahasiswa yang bergerak mundur tadi balik menyerang aparat. Sudah dipastikan mereka tertangkap oleh satgas. Aku tercengang melihat apa yang terjadi setelahnya.

Aparat mengeluarkan tembakan dan melempar gas air mata ke arah mahasiswa yang sedang mundur. Seketika itu, mahasiswa tenggelam dalam kepanikan, mereka lari tak tahu arah. Aku segera turun dan bergegas menuju mbak Surti. Aku tergabung pada kehebohan massal itu dengan fokus hanya kepadanya. Aku menunggu redanya derap kaki yang ada di depan tembok beton ini. Gemuruh dari laju kaki dibarengi dengan suara tembakan yang menggelegar dan sekarang ditambah dengan suara mesin motor.

Suara-suara itu berhenti tepat saat azan magrib berkumandang. Aku mengintip sedikit melalui celah pintu. Keberadaan para aparat mulai pudar, dan hanya menyisakan mahasiswa-mahasiswi yang tergeletak. Tak mau menunggu lama, aku pergi mencari mbak Surti. Pandangan tidak sedap menghampiriku, aku dapat menghirup bau yang mirip dengan besi. Banyak mahasiswa yang terluka berat yang pingsan tepat di depan gedung. Jantungku semakin kencang, aliran darahku melaju tak karuan. Pikiranku jenuh. Aku segera berkeliling ke segala penjuru area pasca demonstrasi. Banyak mahasiswa yang keluar dari tempatnya bersembunyi, mereka membawa kawan-kawan seperjuangan mereka menuju rumah sakit.

Salah satu dari mereka berteriak dengan wajah pucat. “Bangsat! Tolong siapa saja! Ada yang mati!” Pikiranku seketika hancur, aku berlari sekencang mungkin kepada seseorang yang mengeluarkan banyak bau besi itu. Tepat di depanku Andini Surti gugur. Wajahnya pucat pasi, dengan kulit putihnya yang tertutupi debu coklat dan darah merah yang mengering di perutnya.

“Mbak! Mbak Surti! Buka matamu, mbak. Ini saya, Bumi. Saya... Belum siap mbak..,” aku membuka matanya secara halus. Mata coklatnya sudah tak

hidup. Aku menyadarinya, mbak Surti sudah menghilang, menyatu dengan bumi.


***
27 Mei 1998

Kepada yang tak bisa kembali,
Andini Surti,

Mbak Surti, kamu menang, mbak. Indonesia akhirnya mencapai reformasi. Kematianmu membawa semangat bagi kawan-kawanmu, mbak.
Saya hanya ingin berterima kasih kepada mbak Surti untuk pertemuan kita yang singkat namun berarti bagi saya. Saya memenangkan penghargaan PWI karenamu, mbak Surti. Sejatinya, saya belum menerima kepergianmu. Maaf bila mbak yang sudah di sana akan terganggu, namun izinkan saya untuk mengabdikan mbak dalam tulisan saya, dalam foto saya, dan pada relung hati saya yang terdalam

Penuh Rindu.
Bumi Dirgantara.